Abstrak
Guru
professional dan sertifikasi guru ibarat dua sisi mata uang atau kapak bermata
dua, keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Guru professional adalah guru
yang memiliki keahlian dan memperoleh penghasilan sesuai dengan kehliannya atau
dalam istilah Supriadi (2008), ’well educated,well trained, well paid’.
Sementara sertifikasi sebagai proses mendapatkan sertifikat pendidik berfungsi
menghasilkan guru professional yang memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai
dengan yang dipersyaratkan. Kenyataan mutu guru masih rendah dan memiliki kaualifikasi pendidikan yang tidak/belum
layak berdasarkan UU, inilah yang harus dibenahi. Yang jelas dan pasti adalah
bahwa ada komitmen pemerintah yang ingin meningkatkan mutu pendidikan dengan
berupaya meningkatkan kualifikasi pendidikan dan profesionalitas gurunya.
Bahkan, ingin semua guru Indonesia menjadi guru yang profesional, bermartabat,
dan terlindungi agar mampu mewujudkan mutu pendidikan, mutu sumber daya
manusia, tujuan pendidikan, bahkan tujuan dan cita-cita bangsa ini. Kelak dari
keinginan itu mampu mewujudkan masyarakat Indonesia yang baldatun, toyyibatun,
warbbon, gaffur.
A.
Pendahuluan
Perjuangan guru dan seluruh rakyat
Indonesia dalam meningkatkan mutu pendidikan sangat berat dan berliku. Sesuai
dengan tuntutan Pembukaan UUD 1945 yang berunyi; “mencerdaskan kehidupan
bangsa”, sejauh ini terus berjalan, Kenyataan bahwa mutu pendidikan masih jauh
dari harapan, tidak dapat dipungkiri. Peningkatan mutu pendidikan pada dekade
kekinian diyakini harus berjalan seiring dengan meningkatkan martabat dan
tingkat kesejahteraan gurunya, itulah yang coba dilakukan oleh pemerintah
Pada sisi lain, keinginan guru melalui
wadah PGRI dan seluruh rakyat Indonesia untuk melindungi guru terus digulirkan.
UU tentang Guru dan Dosen bukan merupakan hal yang mudah didapat. Perjuangan
memperolehnya sangat berliku dan lama. Dimulai saat kepemimpinan Orde Baru, BJ
Habiebie, Gusdur, kemudian terus berlanjut ketika era Megawati Soekarnoputri
dan ditandatangani pada awal pemerintahan SBY/Kalla. Tidak kurang dari satu
dasawarsa perjalanan guru memperoleh perlindungan, kalah cepat dibandingkan
harimau Sumatera, burung Cendrawasih, Komodo, badak bercula satu, dan lainnya.
Prof. Dr. Moh. Surya ketika masih
menjabat Ketua Umum PB PGRI dalam lawatannya ke berbagai daerah untuk
menyosialisasikan UUGD/ UU No.14 Tahun 2005 dengan semangan berapi-api
selalu menyampaikan kalimat-kalimat berikut:
“ Sekarang jaman
sertifikasi;
Jadi guru
professional;
Tingkatkan
gajinya;
Lindungi
hak-haknya;
Agar sejahtera,
bermartabat, dan terlindungi”
Kalimat yang beliau sampaikan tersebut
bermakna luar biasa selain mengandung semangat perjuangan yang tinggi dalam
meningkatkan harkat dan martabat guru, juga mengisyaratkan profesionalisme;
yakni keinginan meningkatkan mutu guru sebagai bagian dari kepentingan
mencerdaskan bangsa. Begitulah cara persuasif beliau membangun kesadaran
berbangsa dan bernegara melalui pemikiran peningkatan harkat dan martabat guru
seiring dengan keinginan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Waktu terus berjalan; tahun 2006 langkah
berani dilakukan pemerintah untuk melaksanakan amanat UU tersebut walaupun
peraturan pemerintahnya belum usai dibuat. Dengan berbekal fatwa dari Mahkamah
Agung RI yang memperbolehkan untuk sementara pelaksanaan UU menggunakan peraturan
menteri, maka dikeluarkan Permendiknas untuk melaksanakan sertifikasi guru
dalam jabatan sebagai jawaban pemerintah dalam meningkatkan harkat, martabat,
dan perlindungan terhadap guru.
Kenyataannya dalam beberapa tahun
setelah bergulirnya UUGD dan proses sertifikasi dilaksanakan, bahkan tunjangan
pun sudah diberikan, peningkatan mutu pendidikan belum mengalami perubahan
secara signifikan. Demikian pula dengan kualitas berpikir guru pun belum
memperlihatkan kemajuan. Di sana-sini masih terdapat kesenjangan antara
keinginan ideal dari sebuah perubahan dengan realitas yang ada.
Kenyataan tersebut mengundang asumsi
bahwa harkat, martabat, dan perlindungan terhadap guru tidak berpengaruh
terhadap perubahan dan peningkatan mutu pendidikan. Atau butuh waktu yang
relatif lama sehingga hal tersebut dapat dirasakan pengaruhnya. Mungkin ada mata
rantai yang hilang antara harkat, martabat, dan perlindungan guru dengan tujuan
meningkatkan mutu pendidikan? Bahkan
mungkin beribu pernyataan atau pertanyaan lainnya untuk mengilustrasikan
situasi ini.
Untuk itu, sebaiknya kita tinjau kembali
makna guru sebagai profesi dan seperti apakah wujudnya sesuai dengan amanat UU
No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang telah dijabarkan ke dalam PP 74
Tahun 2009 khusus tentang Guru beserta peraturan lainya, serta bagaimana kaitan
antara profesionalisme dengan sertifikasi guru yang telah dan sedang dilakukan
pemerintah?
B.
Guru Sebagai
Profesi
Istilah profesionalisme guru atau guru
profesional bukan sesuatu yang baru. Perlu diakui bahwa keinginan tersebut
sudah lama didengungkan, bahkan boleh jadi bahwa profersionalisme guru telah
diidamkan ketika ada guru atau pendidikan dimulai di tanah air tercinta ini.
Namun kenyataannya seperti apa dan bagaimana, itulah yang perlu dipahami secara
proporsional.
UU 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen menjelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa guru adalah jabatan
profesi yang dibuktikan dengan sertifikat profesi sebagai wujud pengakuan
terhadap kualifikasi dan kompetensinya. Kualifikasi yang dipersyaratkan adalah
S-1/D-IV dan kompetensinya meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian,
professional, dan sosial. Kemudian pasal
7 menjelaskan secara lebih rinci bahwa prinsip professional meliputi
karakteristik berikut:
1)
memiliki
bakat, minat, panggilan, dan idealisme;
2)
memiliki
kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang
tugas;
3)
memiliki
kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
4)
memiliki
ikatan kesejawatan dan k ode etik profesi;
5)
bertanggung
jawab atas pelaksanaan profesinya;
6)
memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
7)
memiliki
kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan;
8)
memiliki
jaminan perlindungan hokum dalam melaksanakan tugas;
9)
memiliki organisasi profesi yang mempunyai
kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan keprofesian.
Pada
pasal 14 dijelaskan bahwa dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:
1)
memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum
dan jaminan kesejahteraan sosial;
2)
mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas
dan prestasi kerja;
3)
memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas
kekayaan intelektual;
4)
memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
5)
memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana
pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
6)
memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut
menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai
dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
7)
memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam
melaksanakan tugas;
8)
memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi
profesi;
9)
memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan
kebijakan pendidikan;
10)
memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan
meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
11)
memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam
bidangnya.
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun
2009 pasal 1 ayat 2 , dijelaskan yang dimaksud denganguru adalah Guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menurut Supriadi dalam Suparlan bahwa profesi
menunjuk pda suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian,
tanggungjawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa
suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang apalagi yang
tidak dilatih atau disiapkan untuk itu.
Sementara profesional menunjuk pada dua
hal. Pertama, menunjuk pada
penampilan atau performance atau kinerja seseorang yang sesuai dengan tuntutan
profesinya. Misalnya, ’pekerjaan itu dilaksanakan secara profesional’. Kedua, menunjuk pada orang yang
melakukan pekerjaan itu, misalnya ’dia seorang profesional’.
Istilah profesionalisme menunjuk pada
derajat penampilan atau performa seseorang dalam melaksanakan pekerjaan atau
profesi. Ada yang profesionalismenya tinggi, sedang, dan ada pula yang rendah.
Selanjutnya, Supriadi dalam Suparlan menjelaskan bawa profesionalisme menuntut tiga prinsip utama,
yakni ’well educated, well trained, well paid’ atau memperoleh pendidikan
yang cukup, mendapatkan pelatihan yang memadai, dan menerima gaji yang memadai.
Dengan kata lain profesionalisme menuntut pendidikan yang tinggi, kesempatan
memperoleh pelatihan yang cukup, dan akhirnya memperoleh bayaran atau gaji yang
memadai.
C. Wujud Profesionalitas Guru
Sesuai dengan karakteristik yang harus
dimiliki seorang guru professional, maka wujud guru professional harus
memperlihatkan kinerja sesuai dengan karakteristik yang harus ditampilkannya,
antara lain:
1.
memiliki
bakat, minat, panggilan, dan idealisme; yakni dalam melaksanakan tugas
didasarkan atas bakat, minat, panggilan, an idealisme yang luhur serta melekat
utuh pada dirinya. Menjadi guru tidak disebabkan tuntutan materi, atau
keterpaksaan karena tidak diterima pada bidang pekerjaan/profesi yang lain.
2.
memiliki
kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang
tugas; yakni tuntutan yang tegas dan jelas bahwa seorang guru harus
berkualifikasi sarjana/ diploma IV dan sesuai dengan bidang yang diampunya.
(Permendiknas 16 Tahun 2007)
3.
memiliki
kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; Permendiknas Nomor 16
Tahun 2007 jelas menguraikan bahwa
seorang guru harus memiliki 4 kompetensi, kompetensi pedagogik, personal,
sosial, dan professional. Keempat kompetensi tersibut masih diurai berdasarkan
karakteristiknya, dan wajib dimiliki oleh semua guru di Indonesia.
4.
memiliki
ikatan kesejawatan dan kode etik profesi; artinya bahwa guru professional
adalah guru yang terikat dalam sebuah organisasi profesi dan bertindak atas
dasar kode etik profesinya.
5.
bertanggung
jawab atas tugas profesinya; Guru professional dituntut tanggung jawab yang
penuh melalui dedikasi dan loyalitas
profesionalitasnya
6.
memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; guru professional
akan memperoleh penghasilsan sesuai dengan ketentuan dari pelaksanaan
profesionalitasnya
7.
memiliki
kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan; dengan dimilikinya
kesempatan untuk mengembangkan profesi, seyogyanya guru professional senantiasa
mengembangkan diri baik melalui jalur pendidikan formal, informal, maupun
nonformal. Keinginan untuk mengembangkan diri tidak atas dasar terpaksa/dipaksa
atau karena motivasi yang lain berupa uang, jabatan, atau yang lainnya.
8.
memiliki
jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas; sepanjang professional dan
sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku, maka jaminan rasa aman akan
dapat diperoleh. Manakala bertindak tidak professional, dan tidak sesuai dengan
prosedur serta aturan yang berlaku, tentu mendapat sanksi atau hukuman yang
sesuai.
9.
memiliki
organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan keprofesian. Guru professional berkomitmen untuk menjadi anggota
organisasi profesinya; yang memiliki kewenangan mengatur profesionalitas angotanya.
D. Guru Profesional dan Sertifikasi Guru
1. Guru Profesional
Supriadi (2008) dalam bukunya ”Mengangkat
Citra dan Martabat Guru” telah menjelaskan secara sederhana ketiga istilah
tersebut. Profesi menunjuk pda suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut
keahlian, tanggungjawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang
orang yang tidak dilatih atau disiapkan untuk itu.
Sementara
profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, menunjuk pada
penampilan atau performance atau kinerja seseorang yang sesuai dengan
tuntutan profesinya. Misalnya, ’pekerjaan itu dilaksanakan secara
profesional’. Kedua, menunjuk pada orang yang melakukan pekerjaan itu,
misalnya ’dia seorang profesional’.
penampilan atau performance atau kinerja seseorang yang sesuai dengan
tuntutan profesinya. Misalnya, ’pekerjaan itu dilaksanakan secara
profesional’. Kedua, menunjuk pada orang yang melakukan pekerjaan itu,
misalnya ’dia seorang profesional’.
Istilah profesionalisme menunjuk pada derajat
penampilan atau performa seseorang dalam melaksanakan pekerjaan atau profesi.
Ada yang profesionalismenya tinggi, sedang, dan ada pula yang rendah. Menurut
Supriadi, Dedi profesionalisme menuntut tiga prinsip utama, yakni ’well educated,well trained, well paid’ atau
memperoleh pendidikan yang cukup, mendapatkan pelatihan yang memadai, dan
menerima gaji yang memadai.
Dengan kata lainprofesionalisme menuntut
pendidikan yang tinggi, kesempatan memperoleh pelatihan yang cukup, dan
akhirnya memperoleh bayaran atau gaji yangmemadai.
UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen mengartikan guru professional sebagai berikut:
Pasal 1 ayat 1
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah.
Pasal 1 ayat 4
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi.
Uraian di atas menjelaskan bahwa guru
professional memiliki tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan serta
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Dalam buku yang sama, Supriadi (2008) menjelaskan
secara sederhana tentangciri-ciri atau karakteristik suatu profesi. Pertama, profesi itu memiliki fungsi
dan signifikansi sosial bagi masyarakat. Sebagai contoh, dokterdisebut profesi
karena memiliki fungsi dan signifikasi sosial untuk memberikan layanan
kesehatan bagi masyarakat. Demikian juga guru, memberikan layanan pendidikan
bagi anak-anak dan generasi muda bangsa.
Kedua, profesimenuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses
pendidikan danpelatihan yang cukup yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang
akuntabelatau dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga,
profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu tertentu (a systematic body of knowledge). Keempat, ada kodeetik yang dijadikan sebagai satu pedoman perilaku
anggota beserta sanksiyang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik
tersebut. Pengawasanterhadap penegakan kode etik dilakukan oleh organisasi
profesi yangbersangkutan. Kelima,
sebagai konsekuensi dari layanan dan prestasi yangdiberikan kepada masyarakat,
maka anggota profesi secara perorangan ataukelompok memperoleh imbalan
finansial atau material.
2. Sertifikasi Guru
Sertifikasi Guru adalah proses seorang
guru mendapatkan sertifikat pendidik atau sertifikat profesi. Seorang guru
dinyatakan professional ditandai dengan sertifikat profesi yang dimilikinya. Pemahaman
ini sejalan dengan yang dinyatakan UU Nomor 14 Tahun 2005, bab I pasal 1 ayat 11, sertifikasi adalah proses
pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen, dan ayat 12, sertifikat pendidik adalah bukti
formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga
profesional. Lalu pada pada bab
II, pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga
profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan ayat 2, pengakuan kedudukan guru sebagai
tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan
sertifikat pendidik.
Sertifikasi
adalah jalan menuju guru profesional, melalui proses sertifikasi seorang guru
dinyatakan memiliki dan memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang
dipersyaratkan. Kualifikasi dan
kompetensi yang dimaksud seperti dijelaskan pada bab IV, pasal 8, 9, dan 10
berikut ini.
BAB IV GURU
Bagian Kesatu
Kualifikasi,
Kompetensi, dan Sertifikasi
Pasal 8
Guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 9
Kualifikasi akademik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program
sarjana atau program diploma empat.
Pasal 10
(1) Kompetensi guru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh
melalui pendidikan profesi.
Sementara pada Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2008 dijelaskan bahwa seorang guru professional selain memiliki
kualifikasi sarjana atau diploma IV, guna menghargai usia dan masa kerja
memeberikan kesempatan pada yang memiliki kualifikasi di bawah sarjana/diploma
IV untuk memiliki sertifikat pendidik/profesi melalui jalur fortofolio. Ini
pengecualian, disebabkan kondisi guru yang relatif beragam tingkat
pendidikannya, dan batasan usia/masa kerja dengan perbandingan; usia ≥50 tahun dan
masa kerja ≥20 tahun. Pada bagian lain pun dijelaskan bahwa sertifikasi guru
dapat pula dilakukan melalui pendidikan profesi bagi yang berusia muda atau
para calon guru atau yang berkeinginan menjadi guru. Ada pula pemberian secara langsung
sertifikat profesi bagi guru yang memiliki persyaratan administrasi, yakni
berkualifikasi akademik S2 dan memenuhi angka kredit/ memiliki jabatan Guru
Pembina (IV/b), memiliki atau memenuhi angka kredit kumulatif setingkat IV/c
atau memiliki pangkat IV/c, serta bagi guru yang berkualifikasi S3/doctor.
Secara teoretis bahwa guru profesional
dan sertifikasi sebagai proses mendapatkan sertifikatnya berbanding lurus
(linear). Keinginan mewujudkan guru professional dijalankan dengan mekanisme
yang sesuai dan disesuaikan dengan kondisi guru yang ada. Ketentuan mengenai
sertifikasi dikelompokkan menjadi 3 cara/jalur yakni; pemberian langsung,
pendidikan profesi, dan fortofolio merupakan sebuah kearifan disebabkan
keragaman kualifikasinya.
E. Realitas Guru dan Sertifikasi Guru
1. Permasalahan Sertifikasi dan Mutu Guru
Kinerja guru tampak meningkat saat
proses sertifikasi. Namun, setelah itu mereka bertugas seperti semula, tak ada
perbaikan (performance). Karena itu guru yang baik, yang telah maupun belum
mendapat sertifikasi, perlu terus mendapat pelatihan, serta aktif engikuti
seminar, lokakarya untuk mendapat wawsan tambahan guna memperbaiki kinerjanya
di sekolah.
Harus disaari perjalanan sertifikasi
pendidik hinga kini belum berjalan mulus. Sebagian guru kesulitan memenuhi
syarat mengajar 24 jam seminggu. Padahal , hal ini merupakan prasyarat
dibayarkannya dana sertifikasi. Di lain pihak, meski sudah mengajar 24 jam,
dana sertifikasi belum rutin keluar,dirapel empat bulan atau enam bulan sekali.
Entah dimana mismanajemen terjadi. Departemen
Pendidikan Nasional berdalih, dana sudah dialokasikan sampai kabupaten/kota dan
keterlambatan pembayaran dana sertifikasi bukan salah pemerintah pusat.
Kenyataannya, banyak guru harus bersabar
menunggu realisasi pencairan uang serrtifikasi. Jika pembayaran hak-hak guru
tersendat, kinerja guru pasti juga terseok-seok. (Ali Khomsan, Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB. HU Kompas, 24
Oktober 2009)
Pengamatan
penulis pun di kecamatan tempat penulis bekerja, dari populasi kepala sekolah
39 orang, sebanyak 37 orang sudah tersertifikasi. artinya 37 orang kepala
sekolah tersebut adalah guru besertifikat/ guru professional. Ketika penulis
tanyakan pemahaman tentang sertifikasi, guru profesional, dan komitmen dan
konsewensi hukumnya, ternyata “kasat mata” baru sekitar 5% saja yang memiliki
pemahaman tentang itu. Berbicara kompetensi seperti diatus dalam Permendiknas
13 tentang kepala sekolah dan
Permendiknas 16 tentang guru,
hanya 2% yang memahaminya. Belum lagi pemahaman tentang standarisasi sekolah dan
peraturan lainnya yang menjadi tanggung jawabnya, dilihat dari sisi pemahaman.
Dari sisi implementasi/kinerja, sangat memperihatinkan. Selain disebabkan
pemahaman yang kurang tentang aturan mainnya, juga disebabkan oleh komitmen
yang rendah serta paradigma berpikir, bersikap, dan bertindak yang keliru dan ewuh-pakewuh. Angkanya
relative sama dengan aspek pemahaman tadi.
Demikian pula
pada tataran guru. Ketika penulis bertanya tentang sertifikasi, jawabannya
hanya motif ekonomi dan kesejahteraan, yakni mendambakan penghasilan/ tunjangan
satu bulan gaji. Sementara sisi lain dari sertifikasi, yakni meningkatkan mutu
pendidikan/ sumber daya manusia (manpower) tidak pernah disinggung atau menjadi
perhatiannya. Kenyataan ini hampir seratus persen dari mereka yang penulis
tanya dan amati pada saat mereka akan disertifikasi, belum lagi dilihat
kinerjanya setelah mereka mendapat sertifikat, bahkan setelah mendapat
tunjangan msekali pun.
Hal ini boleh
jadi pada kecamatan, kabupaten, dan propinsi lain di Negara ini masih terjadi
seperti itu walaupun angkanya berbeda. Kalau demikian diperlukan upaya lain,
terutama mengubah paradigm berfikir, bertindak, dan bersikapnya.
2. Kelayakan Guru
Dari seitar 2,8 juta guru dari berbagai
jenjang pendidikan, banyak yang sebenarnya tidak layak. Ketidaklayakannya
disebabkan tingkat pendidikannya yang tidak memenuhi syarat dan belum memiliki
sertifikat pendidik.
Guru yang tidak layak ini sebagian besar
berada pada TK dan SD. Di TK, berdasarkan data Depdiknas tahun 2007.2008
sekitar 88%, sedangkan di tingkat SD sekitar 77, 85%. Pada tingkat SMP sekitar
28,33%, SMA sekitar 15,25%, dan SMK sebanyak 23.04%.
Ketidaklayakan tersebut sebagian besar
disebabkan belum memenuhi kualiafikasi pendidikan DIV atau sarjana (S1).
Kebanyakan dari mereka masih memiliki kualifikasi SMA/SPG hingga Diploma III.
(Dikutip dari Kompas, 24 Oktober 2009
setelah dilakukan perbaikan)
Kutipan
di atas menandakan realita, banyak guru yang masih memiliki kualifikasi
pendidikan SMA hingga diploma III dan belum memiliki sertifikat pendidik.
Sementara pada UU Nomor 14 tahun 2005 di jelaskan bahwa persyaratan kelayakan
guru atau guru yang professional diantaranya harus memiliki kualifikasi
pendidikan DIV/S1, oleh sebab itu dinyatakan bahwa guru tersebut tidak layak
sesuai dengan UU. Namun pada PP 74 Tahun 2008 diakomodasi keberadaan pendidikan
guru yang beragam tersebut, dengan memperbolehkan mengikuti sertifikasi dengan
harapan kompetensinya dapat terpenuhi. Ada keinginan pemerintah untuk
mengangkat harkat, martabat, dan kesejahteraan guru yang beragam kualifikasinya
dengan komitmen memiliki kompetensi yang dipersyaratkan serta memiliki
keinginan untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan. Begitu juga pada sisi
lain, tidak menyebabkan guru berlomba-lomba hanya untuk menjadi sarjana/DIV
dengan instan tanpa memperhatikan mutunya karena terdorong untuk bisa cepat
mengikuti sertifikasi dan memperoleh tunjangan profesi.
F. Kesimpuan dan Rekomendasi
1.
Kesimpulan
Guru
professional dan sertifikasi guru ibarat dua sisi mata uang atau kapak bermata
dua, keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Guru professional adalah guru
yang memiliki keahlian dan memperoleh penghasilan sesuai dengan kehliannya atau
dalam istilah Supriadi (2008), ’well
educated,well trained, well paid’. Sementara sertifikasi sebagai proses
mendapatkan sertifikat pendidik berfungsi menghasilkan guru professional yang
memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan yang dipersyaratkan baik
menurut UU Nomor 14 tahun 2005, PP Nomor 74 Tahun 2008, Permendiknas 13 tentang
Kepala Sekolah, permendiknas 16 Tentang Guru dan peraturan lainnya.
Kenyataan mutu
guru masih rendah dan memiliki
kaualifikasi pendidikan yang tidak/belum layak berdasarkan UU, inilah
yang harus dibenahi. Yang jelas dan pasti adalah bahwa ada komitmen pemerintah
yang ingin meningkatkan mutu pendidikan dengan berupaya meningkatkan
kualifikasi pendidikan dan profesionalitas gurunya. Lebih jauh, pemerintah
ingin menjadikan guru Indonesia menjadi guru yang profesional, bermartabat, dan
terlindungi agar mampu mewujudkan mutu pendidikan, mutu sumber daya manusia,
tujuan pendidikan, bahkan tujuan dan cita-cita bangsa ini. Kelak dari keinginan
itu mampu mewujudkan masyarakat Indonesia yang baldatun, toyyibatun, warbbon, gaffur.
2.
Rekomendasi
a.
Seyogyanya,
semua guru mengubah pola piker, pola sikap, dan pola tindak serta memiliki
komitmen untuk menjadi guru yang professional;
b.
Sebaiknya
peningkatan kualifikasi dibarengi dengan peningkatan mutu dan kompetensi sesuai
dengan yang dipersyaratkan. Tidak ada artinya peningkatan kualifikasi (DIV/S1,
S2 dst.) hanya untuk kepentingan sertifikasi tanpa memiliki keinginan untuk
meningkatkan mutu pendidikan/ sumber daya manusia;
c.
Seyogyanya
tidak ada lagi guru tidak layak atau mutu guru rendah ketika semuanya
berkomitmen dan mau berupaya dan bekerja keras menuju profesionalitas. Tidak
ada kata terlambat dan tidak ada sesuatu yang tidak mungkin sepanjang ada usaha
dan kerja keras.
Daftar Bacaan
· Arifin, Daeng
& Pipin. 2010. Menuju Guru
Professional. Bandung: Pustaka Al Ksyaf.
· Arifin, Daeng
& Permadi, Dadi. 2010. The Smilling
Teacher. Bandung: Pustaka Al Ksyaf.
· Arifin, Daeng
& Pipin. 2010. Keprofesionalan Guru.
Bandung: Pustaka Al Ksyaf.
·
Rahman, Ujang.2003.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003/ Sistem Pendidikan
Nasionsal. Jakarta: Kloang Klade Putra.
·
Depdiknas, 2005.
Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta.
·
Depdiknas, 2008.
Pereturan pemerintah Nomor 74 tahun 2008 Tentang Guru. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar