Rabu, 25 Juli 2012

Guru Profesional dan Sertifikasi Guru


Abstrak
Guru professional dan sertifikasi guru ibarat dua sisi mata uang atau kapak bermata dua, keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Guru professional adalah guru yang memiliki keahlian dan memperoleh penghasilan sesuai dengan kehliannya atau dalam istilah Supriadi (2008), ’well educated,well trained, well paid’. Sementara sertifikasi sebagai proses mendapatkan sertifikat pendidik berfungsi menghasilkan guru professional yang memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan yang dipersyaratkan. Kenyataan mutu guru masih rendah dan memiliki  kaualifikasi pendidikan yang tidak/belum layak berdasarkan UU, inilah yang harus dibenahi. Yang jelas dan pasti adalah bahwa ada komitmen pemerintah yang ingin meningkatkan mutu pendidikan dengan berupaya meningkatkan kualifikasi pendidikan dan profesionalitas gurunya. Bahkan, ingin semua guru Indonesia menjadi guru yang profesional, bermartabat, dan terlindungi agar mampu mewujudkan mutu pendidikan, mutu sumber daya manusia, tujuan pendidikan, bahkan tujuan dan cita-cita bangsa ini. Kelak dari keinginan itu mampu mewujudkan masyarakat Indonesia yang baldatun, toyyibatun, warbbon, gaffur.


A.                Pendahuluan
Perjuangan guru dan seluruh rakyat Indonesia dalam meningkatkan mutu pendidikan sangat berat dan berliku. Sesuai dengan tuntutan Pembukaan UUD 1945 yang berunyi; “mencerdaskan kehidupan bangsa”, sejauh ini terus berjalan, Kenyataan bahwa mutu pendidikan masih jauh dari harapan, tidak dapat dipungkiri. Peningkatan mutu pendidikan pada dekade kekinian diyakini harus berjalan seiring dengan meningkatkan martabat dan tingkat kesejahteraan gurunya, itulah yang coba dilakukan oleh pemerintah
Pada sisi lain, keinginan guru melalui wadah PGRI dan seluruh rakyat Indonesia untuk melindungi guru terus digulirkan. UU tentang Guru dan Dosen bukan merupakan hal yang mudah didapat. Perjuangan memperolehnya sangat berliku dan lama. Dimulai saat kepemimpinan Orde Baru, BJ Habiebie, Gusdur, kemudian terus berlanjut ketika era Megawati Soekarnoputri dan ditandatangani pada awal pemerintahan SBY/Kalla. Tidak kurang dari satu dasawarsa perjalanan guru memperoleh perlindungan, kalah cepat dibandingkan harimau Sumatera, burung Cendrawasih, Komodo, badak bercula satu, dan lainnya.
Prof. Dr. Moh. Surya ketika masih menjabat Ketua Umum PB PGRI dalam lawatannya ke berbagai daerah untuk menyosialisasikan UUGD/ UU No.14 Tahun 2005 dengan semangan berapi-api selalu  menyampaikan kalimat-kalimat berikut:

“ Sekarang jaman sertifikasi;
Jadi guru professional;
Tingkatkan gajinya;
Lindungi hak-haknya;
Agar sejahtera, bermartabat, dan terlindungi”

Kalimat yang beliau sampaikan tersebut bermakna luar biasa selain mengandung semangat perjuangan yang tinggi dalam meningkatkan harkat dan martabat guru, juga mengisyaratkan profesionalisme; yakni keinginan meningkatkan mutu guru sebagai bagian dari kepentingan mencerdaskan bangsa. Begitulah cara persuasif beliau membangun kesadaran berbangsa dan bernegara melalui pemikiran peningkatan harkat dan martabat guru seiring dengan keinginan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Waktu terus berjalan; tahun 2006 langkah berani dilakukan pemerintah untuk melaksanakan amanat UU tersebut walaupun peraturan pemerintahnya belum usai dibuat. Dengan berbekal fatwa dari Mahkamah Agung RI yang memperbolehkan untuk sementara pelaksanaan UU menggunakan peraturan menteri, maka dikeluarkan Permendiknas untuk melaksanakan sertifikasi guru dalam jabatan sebagai jawaban pemerintah dalam meningkatkan harkat, martabat, dan perlindungan terhadap guru.
Kenyataannya dalam beberapa tahun setelah bergulirnya UUGD dan proses sertifikasi dilaksanakan, bahkan tunjangan pun sudah diberikan, peningkatan mutu pendidikan belum mengalami perubahan secara signifikan. Demikian pula dengan kualitas berpikir guru pun belum memperlihatkan kemajuan. Di sana-sini masih terdapat kesenjangan antara keinginan ideal dari sebuah perubahan dengan realitas yang ada.
Kenyataan tersebut mengundang asumsi bahwa harkat, martabat, dan perlindungan terhadap guru tidak berpengaruh terhadap perubahan dan peningkatan mutu pendidikan. Atau butuh waktu yang relatif lama sehingga hal tersebut dapat dirasakan pengaruhnya. Mungkin ada mata rantai yang hilang antara harkat, martabat, dan perlindungan guru dengan tujuan meningkatkan mutu pendidikan?  Bahkan mungkin beribu pernyataan atau pertanyaan lainnya untuk mengilustrasikan situasi ini.
Untuk itu, sebaiknya kita tinjau kembali makna guru sebagai profesi dan seperti apakah wujudnya sesuai dengan amanat UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang telah dijabarkan ke dalam PP 74 Tahun 2009 khusus tentang Guru beserta peraturan lainya, serta bagaimana kaitan antara profesionalisme dengan sertifikasi guru yang telah dan sedang dilakukan pemerintah?

B.                 Guru Sebagai Profesi
Istilah profesionalisme guru atau guru profesional bukan sesuatu yang baru. Perlu diakui bahwa keinginan tersebut sudah lama didengungkan, bahkan boleh jadi bahwa profersionalisme guru telah diidamkan ketika ada guru atau pendidikan dimulai di tanah air tercinta ini. Namun kenyataannya seperti apa dan bagaimana, itulah yang perlu dipahami secara proporsional.
            UU 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa guru adalah jabatan profesi yang dibuktikan dengan sertifikat profesi sebagai wujud pengakuan terhadap kualifikasi dan kompetensinya. Kualifikasi yang dipersyaratkan adalah S-1/D-IV dan kompetensinya meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, professional, dan sosial. Kemudian  pasal 7 menjelaskan secara lebih rinci bahwa prinsip professional meliputi karakteristik berikut:
1)        memiliki bakat, minat, panggilan, dan idealisme;
2)        memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
3)        memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
4)        memiliki ikatan kesejawatan dan k ode etik profesi;
5)        bertanggung jawab atas pelaksanaan profesinya;
6)        memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
7)        memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan;
8)        memiliki jaminan perlindungan hokum dalam melaksanakan tugas;
9)        memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan keprofesian.
Pada pasal 14 dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:
1)        memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
2)        mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
3)        memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
4)        memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
5)        memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
6)        memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
7)        memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
8)        memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
9)        memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
10)    memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
11)    memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009 pasal 1 ayat 2 , dijelaskan yang dimaksud denganguru adalah Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menurut Supriadi dalam Suparlan bahwa profesi menunjuk pda suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggungjawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang apalagi yang tidak dilatih atau disiapkan untuk itu.
Sementara profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, menunjuk pada penampilan atau performance atau kinerja seseorang yang sesuai dengan tuntutan profesinya. Misalnya, ’pekerjaan itu dilaksanakan secara profesional’. Kedua, menunjuk pada orang yang melakukan pekerjaan itu, misalnya ’dia seorang profesional’.
Istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan atau performa seseorang dalam melaksanakan pekerjaan atau profesi. Ada yang profesionalismenya tinggi, sedang, dan ada pula yang rendah. Selanjutnya, Supriadi dalam Suparlan menjelaskan bawa  profesionalisme menuntut tiga prinsip utama, yakni ’well educated, well trained, well paid’ atau memperoleh pendidikan yang cukup, mendapatkan pelatihan yang memadai, dan menerima gaji yang memadai. Dengan kata lain profesionalisme menuntut pendidikan yang tinggi, kesempatan memperoleh pelatihan yang cukup, dan akhirnya memperoleh bayaran atau gaji yang memadai.

C.      Wujud Profesionalitas Guru
Sesuai dengan karakteristik yang harus dimiliki seorang guru professional, maka wujud guru professional harus memperlihatkan kinerja sesuai dengan karakteristik yang harus ditampilkannya, antara lain:
1.        memiliki bakat, minat, panggilan, dan idealisme; yakni dalam melaksanakan tugas didasarkan atas bakat, minat, panggilan, an idealisme yang luhur serta melekat utuh pada dirinya. Menjadi guru tidak disebabkan tuntutan materi, atau keterpaksaan karena tidak diterima pada bidang pekerjaan/profesi yang lain.
2.        memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; yakni tuntutan yang tegas dan jelas bahwa seorang guru harus berkualifikasi sarjana/ diploma IV dan sesuai dengan bidang yang diampunya. (Permendiknas 16 Tahun 2007)
3.        memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007  jelas menguraikan bahwa seorang guru harus memiliki 4 kompetensi, kompetensi pedagogik, personal, sosial, dan professional. Keempat kompetensi tersibut masih diurai berdasarkan karakteristiknya, dan wajib dimiliki oleh semua guru di Indonesia.
4.        memiliki ikatan kesejawatan dan kode etik profesi; artinya bahwa guru professional adalah guru yang terikat dalam sebuah organisasi profesi dan bertindak atas dasar kode etik profesinya.
5.        bertanggung jawab atas tugas profesinya; Guru professional dituntut tanggung jawab yang penuh melalui dedikasi dan loyalitas  profesionalitasnya
6.        memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; guru professional akan memperoleh penghasilsan sesuai dengan ketentuan dari pelaksanaan profesionalitasnya
7.        memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan; dengan dimilikinya kesempatan untuk mengembangkan profesi, seyogyanya guru professional senantiasa mengembangkan diri baik melalui jalur pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Keinginan untuk mengembangkan diri tidak atas dasar terpaksa/dipaksa atau karena motivasi yang lain berupa uang, jabatan, atau yang lainnya.
8.        memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas; sepanjang professional dan sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku, maka jaminan rasa aman akan dapat diperoleh. Manakala bertindak tidak professional, dan tidak sesuai dengan prosedur serta aturan yang berlaku, tentu mendapat sanksi atau hukuman yang sesuai.
9.        memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan keprofesian. Guru professional berkomitmen untuk menjadi anggota organisasi profesinya; yang memiliki kewenangan mengatur  profesionalitas angotanya.

D.      Guru Profesional dan Sertifikasi Guru
1.      Guru Profesional
Supriadi (2008) dalam bukunya ”Mengangkat Citra dan Martabat Guru” telah menjelaskan secara sederhana ketiga istilah tersebut. Profesi menunjuk pda suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggungjawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau disiapkan untuk itu.
Sementara profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, menunjuk pada
penampilan atau performance atau kinerja seseorang yang sesuai dengan
tuntutan profesinya. Misalnya, ’pekerjaan itu dilaksanakan secara
profesional’. Kedua, menunjuk pada orang yang melakukan pekerjaan itu,
misalnya ’dia seorang profesional’.
Istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan atau performa seseorang dalam melaksanakan pekerjaan atau profesi. Ada yang profesionalismenya tinggi, sedang, dan ada pula yang rendah. Menurut Supriadi, Dedi profesionalisme menuntut tiga prinsip utama, yakni ’well educated,well trained, well paid’ atau memperoleh pendidikan yang cukup, mendapatkan pelatihan yang memadai, dan menerima gaji yang memadai.
Dengan kata lainprofesionalisme menuntut pendidikan yang tinggi, kesempatan memperoleh pelatihan yang cukup, dan akhirnya memperoleh bayaran atau gaji yangmemadai.
UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengartikan guru professional sebagai berikut:
Pasal 1 ayat 1
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Pasal 1 ayat 4
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Uraian di atas menjelaskan bahwa guru professional memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan serta memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Dalam buku yang sama, Supriadi (2008) menjelaskan secara sederhana tentangciri-ciri atau karakteristik suatu profesi. Pertama, profesi itu memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat. Sebagai contoh, dokterdisebut profesi karena memiliki fungsi dan signifikasi sosial untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat. Demikian juga guru, memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak dan generasi muda bangsa. Kedua, profesimenuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan danpelatihan yang cukup yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang akuntabelatau dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu tertentu (a systematic body of knowledge). Keempat, ada kodeetik yang dijadikan sebagai satu pedoman perilaku anggota beserta sanksiyang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik tersebut. Pengawasanterhadap penegakan kode etik dilakukan oleh organisasi profesi yangbersangkutan. Kelima, sebagai konsekuensi dari layanan dan prestasi yangdiberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan ataukelompok memperoleh imbalan finansial atau material.

2.      Sertifikasi Guru
Sertifikasi Guru adalah proses seorang guru mendapatkan sertifikat pendidik atau sertifikat profesi. Seorang guru dinyatakan professional ditandai dengan sertifikat profesi yang dimilikinya. Pemahaman ini sejalan dengan yang dinyatakan UU Nomor 14 Tahun 2005, bab I pasal 1 ayat 11, sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen, dan ayat 12, sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Lalu pada pada bab II, pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ayat 2, pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Sertifikasi adalah jalan menuju guru profesional, melalui proses sertifikasi seorang guru dinyatakan memiliki dan memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan.  Kualifikasi dan kompetensi yang dimaksud seperti dijelaskan pada bab IV, pasal 8, 9, dan 10 berikut ini.

BAB IV GURU
Bagian Kesatu
Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi
Pasal 8
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 9
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Pasal 10
(1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Sementara pada Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 dijelaskan bahwa seorang guru professional selain memiliki kualifikasi sarjana atau diploma IV, guna menghargai usia dan masa kerja memeberikan kesempatan pada yang memiliki kualifikasi di bawah sarjana/diploma IV untuk memiliki sertifikat pendidik/profesi melalui jalur fortofolio. Ini pengecualian, disebabkan kondisi guru yang relatif beragam tingkat pendidikannya, dan batasan usia/masa kerja dengan perbandingan; usia ≥50 tahun dan masa kerja ≥20 tahun. Pada bagian lain pun dijelaskan bahwa sertifikasi guru dapat pula dilakukan melalui pendidikan profesi bagi yang berusia muda atau para calon guru atau yang berkeinginan menjadi guru. Ada pula pemberian secara langsung sertifikat profesi bagi guru yang memiliki persyaratan administrasi, yakni berkualifikasi akademik S2 dan memenuhi angka kredit/ memiliki jabatan Guru Pembina (IV/b), memiliki atau memenuhi angka kredit kumulatif setingkat IV/c atau memiliki pangkat IV/c, serta bagi guru yang berkualifikasi S3/doctor.
Secara teoretis bahwa guru profesional dan sertifikasi sebagai proses mendapatkan sertifikatnya berbanding lurus (linear). Keinginan mewujudkan guru professional dijalankan dengan mekanisme yang sesuai dan disesuaikan dengan kondisi guru yang ada. Ketentuan mengenai sertifikasi dikelompokkan menjadi 3 cara/jalur yakni; pemberian langsung, pendidikan profesi, dan fortofolio merupakan sebuah kearifan disebabkan keragaman kualifikasinya.

E.       Realitas Guru dan Sertifikasi Guru
1.      Permasalahan Sertifikasi dan Mutu Guru
Kinerja guru tampak meningkat saat proses sertifikasi. Namun, setelah itu mereka bertugas seperti semula, tak ada perbaikan (performance). Karena itu guru yang baik, yang telah maupun belum mendapat sertifikasi, perlu terus mendapat pelatihan, serta aktif engikuti seminar, lokakarya untuk mendapat wawsan tambahan guna memperbaiki kinerjanya di sekolah.
Harus disaari perjalanan sertifikasi pendidik hinga kini belum berjalan mulus. Sebagian guru kesulitan memenuhi syarat mengajar 24 jam seminggu. Padahal , hal ini merupakan prasyarat dibayarkannya dana sertifikasi. Di lain pihak, meski sudah mengajar 24 jam, dana sertifikasi belum rutin keluar,dirapel empat bulan atau enam bulan sekali. Entah dimana mismanajemen terjadi. Departemen Pendidikan Nasional berdalih, dana sudah dialokasikan sampai kabupaten/kota dan keterlambatan pembayaran dana sertifikasi bukan salah pemerintah pusat.
Kenyataannya, banyak guru harus bersabar menunggu realisasi pencairan uang serrtifikasi. Jika pembayaran hak-hak guru tersendat, kinerja guru pasti juga terseok-seok. (Ali Khomsan, Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB. HU Kompas, 24 Oktober 2009)

Pengamatan penulis pun di kecamatan tempat penulis bekerja, dari populasi kepala sekolah 39 orang, sebanyak 37 orang sudah tersertifikasi. artinya 37 orang kepala sekolah tersebut adalah guru besertifikat/ guru professional. Ketika penulis tanyakan pemahaman tentang sertifikasi, guru profesional, dan komitmen dan konsewensi hukumnya, ternyata “kasat mata” baru sekitar 5% saja yang memiliki pemahaman tentang itu. Berbicara kompetensi seperti diatus dalam Permendiknas 13 tentang kepala sekolah dan  Permendiknas 16  tentang guru, hanya 2% yang memahaminya. Belum lagi pemahaman tentang standarisasi sekolah dan peraturan lainnya yang menjadi tanggung jawabnya, dilihat dari sisi pemahaman. Dari sisi implementasi/kinerja, sangat memperihatinkan. Selain disebabkan pemahaman yang kurang tentang aturan mainnya, juga disebabkan oleh komitmen yang rendah serta paradigma berpikir, bersikap, dan bertindak  yang keliru dan ewuh-pakewuh. Angkanya relative sama dengan aspek pemahaman tadi.
Demikian pula pada tataran guru. Ketika penulis bertanya tentang sertifikasi, jawabannya hanya motif ekonomi dan kesejahteraan, yakni mendambakan penghasilan/ tunjangan satu bulan gaji. Sementara sisi lain dari sertifikasi, yakni meningkatkan mutu pendidikan/ sumber daya manusia (manpower) tidak pernah disinggung atau menjadi perhatiannya. Kenyataan ini hampir seratus persen dari mereka yang penulis tanya dan amati pada saat mereka akan disertifikasi, belum lagi dilihat kinerjanya setelah mereka mendapat sertifikat, bahkan setelah mendapat tunjangan msekali pun.
Hal ini boleh jadi pada kecamatan, kabupaten, dan propinsi lain di Negara ini masih terjadi seperti itu walaupun angkanya berbeda. Kalau demikian diperlukan upaya lain, terutama mengubah paradigm berfikir, bertindak, dan bersikapnya.
2.      Kelayakan Guru
Dari seitar 2,8 juta guru dari berbagai jenjang pendidikan, banyak yang sebenarnya tidak layak. Ketidaklayakannya disebabkan tingkat pendidikannya yang tidak memenuhi syarat dan belum memiliki sertifikat pendidik.
Guru yang tidak layak ini sebagian besar berada pada TK dan SD. Di TK, berdasarkan data Depdiknas tahun 2007.2008 sekitar 88%, sedangkan di tingkat SD sekitar 77, 85%. Pada tingkat SMP sekitar 28,33%, SMA sekitar 15,25%, dan SMK sebanyak 23.04%.
Ketidaklayakan tersebut sebagian besar disebabkan belum memenuhi kualiafikasi pendidikan DIV atau sarjana (S1). Kebanyakan dari mereka masih memiliki kualifikasi SMA/SPG hingga Diploma III.
(Dikutip dari Kompas, 24 Oktober 2009 setelah dilakukan perbaikan)

     Kutipan di atas menandakan realita, banyak guru yang masih memiliki kualifikasi pendidikan SMA hingga diploma III dan belum memiliki sertifikat pendidik. Sementara pada UU Nomor 14 tahun 2005 di jelaskan bahwa persyaratan kelayakan guru atau guru yang professional diantaranya harus memiliki kualifikasi pendidikan DIV/S1, oleh sebab itu dinyatakan bahwa guru tersebut tidak layak sesuai dengan UU. Namun pada PP 74 Tahun 2008 diakomodasi keberadaan pendidikan guru yang beragam tersebut, dengan memperbolehkan mengikuti sertifikasi dengan harapan kompetensinya dapat terpenuhi. Ada keinginan pemerintah untuk mengangkat harkat, martabat, dan kesejahteraan guru yang beragam kualifikasinya dengan komitmen memiliki kompetensi yang dipersyaratkan serta memiliki keinginan untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan. Begitu juga pada sisi lain, tidak menyebabkan guru berlomba-lomba hanya untuk menjadi sarjana/DIV dengan instan tanpa memperhatikan mutunya karena terdorong untuk bisa cepat mengikuti sertifikasi dan memperoleh tunjangan profesi.

F.       Kesimpuan dan Rekomendasi
1.    Kesimpulan
Guru professional dan sertifikasi guru ibarat dua sisi mata uang atau kapak bermata dua, keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Guru professional adalah guru yang memiliki keahlian dan memperoleh penghasilan sesuai dengan kehliannya atau dalam istilah Supriadi (2008), ’well educated,well trained, well paid’. Sementara sertifikasi sebagai proses mendapatkan sertifikat pendidik berfungsi menghasilkan guru professional yang memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan yang dipersyaratkan baik menurut UU Nomor 14 tahun 2005, PP Nomor 74 Tahun 2008, Permendiknas 13 tentang Kepala Sekolah, permendiknas 16 Tentang Guru dan peraturan lainnya.
Kenyataan mutu guru masih rendah dan memiliki  kaualifikasi pendidikan yang tidak/belum layak berdasarkan UU, inilah yang harus dibenahi. Yang jelas dan pasti adalah bahwa ada komitmen pemerintah yang ingin meningkatkan mutu pendidikan dengan berupaya meningkatkan kualifikasi pendidikan dan profesionalitas gurunya. Lebih jauh, pemerintah ingin menjadikan guru Indonesia menjadi guru yang profesional, bermartabat, dan terlindungi agar mampu mewujudkan mutu pendidikan, mutu sumber daya manusia, tujuan pendidikan, bahkan tujuan dan cita-cita bangsa ini. Kelak dari keinginan itu mampu mewujudkan masyarakat Indonesia yang baldatun, toyyibatun, warbbon, gaffur.
2.    Rekomendasi
a.       Seyogyanya, semua guru mengubah pola piker, pola sikap, dan pola tindak serta memiliki komitmen untuk menjadi guru yang professional;
b.      Sebaiknya peningkatan kualifikasi dibarengi dengan peningkatan mutu dan kompetensi sesuai dengan yang dipersyaratkan. Tidak ada artinya peningkatan kualifikasi (DIV/S1, S2 dst.) hanya untuk kepentingan sertifikasi tanpa memiliki keinginan untuk meningkatkan mutu pendidikan/ sumber daya manusia;
c.       Seyogyanya tidak ada lagi guru tidak layak atau mutu guru rendah ketika semuanya berkomitmen dan mau berupaya dan bekerja keras menuju profesionalitas. Tidak ada kata terlambat dan tidak ada sesuatu yang tidak mungkin sepanjang ada usaha dan kerja keras.


Daftar Bacaan
·      Arifin, Daeng & Pipin. 2010. Menuju Guru Professional. Bandung: Pustaka Al Ksyaf.
·      Arifin, Daeng & Permadi, Dadi. 2010. The Smilling Teacher. Bandung: Pustaka Al Ksyaf.
·      Arifin, Daeng & Pipin. 2010. Keprofesionalan Guru. Bandung: Pustaka Al Ksyaf.
·      Rahman, Ujang.2003. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003/ Sistem Pendidikan Nasionsal. Jakarta: Kloang Klade Putra.
·      Depdiknas, 2005. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta.
·      Depdiknas, 2008. Pereturan pemerintah Nomor 74 tahun 2008 Tentang Guru. Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar