Hakikatnya bahwa perubahan itu bernilai
positif manakala berjalan menurut keteraturan sesuai proporsinya (sarat-etik). Faktanya, perubahan bergerak
tidak lagi linear bahkan menjadi berlebihan (netral etik). Pada titik itulah, saat perubahan dimaknai
melewati batas-batas keteraturan (order)
menimbulkan kebekuan, stagnasi, bahkan keterasingan, selanjutnya dirasakan
manjadi kerumitan (complexcity)
bahkan keasemrawutan (chaos).
Robbanaa
maa kholaqta haadzaa baathilaa subhaanaka faqinaa ‘adzaabannar, “ Tuhan kami,
tidaklah engkau ciptakan semua sia-sia. Maha suci Engkau! (Hanya Engkau yang
Mahasempurna, kami dlaif penuh kesalahan). Karenanya (ampunilah kami),
jauhkanlah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran 3: 191). Sebenarnya semua
kejadian yang Allah ciptakan di dunia
(termasuk proses kehidupan) tidak ada yang sia-sia. Ada hikmah di dalamnya dan
akan bernilai bagi manusia yang berfikir.
Diperlukan kesadaran (consciousness), kesadaran diri (self-consciousness), kesadaran koliektif (colective-consciousness) , dan kesadaran satu dan lainnya mutlak.
Sadar-sesadarnya; sebagai
dasar kemampuan untuk mampu berselancar (surfing
on chaos) diantaranya, agar tidak terbenam dalam complexcity, chaos, apalagi
deep chaos. Setelahnya, upaya membangun
paradigma baru masa depan dengan membangun integritas pendidikan, terutama membangun kecerdasan jamak (multiple
inteligences) dan
kecerdasan al-qalbiah.
Mujib dan
Mudzakir (2002), membagi kecerdasan al-qalbiah menjadi sembian belas nuansa, yakni: kecerdasan al-ikhbbat; kecerdasan al-zuhud; kecerdasar al- wara; kecerdasar ar-raja; kecerdasan al-ri’ayah; kecerdasan al-muqorobah;
kecerdasan al-ikhlas; kecerdasan al-istiqomah;
kecerdasan al-tawakal; kecerdasan al-shabr; kecerdasan al-ridha;
kecerdasan al-syukr; kecerdasan al-baya; kecerdasan al-shidq; kecerdasan al-itsr;
kecerdasan al-tawadhu; kecerdasan al-muruah; kecerdasan al-qonaah; kecerdasan al-taqwa.
Diwajibkan untuk memperbanyak upaya dan
ikhtiar, memulai terapi penyembuhan terutama bidang pendidikan (kawah-candradimuka) transformasi
nilai sebagai perekat (magnetting force)
dan pendorong (driving force) dengan kembali pada konsep-konsep Ilahiah,
mengembangkan kecerdasan jamak (multiple
intelegences), terutama kecerdasan al-qolbiah,
karena disadari bahwa filsafat positivistik dan rasionalistik mengalami kegagalan dan kegersangan serta
tidak mampu menghantarkan manusia pada hakikat kesejateraan kesejagatan (baldatun toyyibatun wa robbun gofur).
Wallohualam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar